Cultuurstelsel
(Bel.). Suatu sistem perkebunan yang lajim dikenal dengan nama
“tanam(an) paksa” pada waktu pemerintahan Hindia Belanda di P. Jawa
tahun 1830. Direncanakan oleh Gubernur Jenderal J. van den Bosch untuk
mengatasi keadaan keuangan negara yang memburuk akibat perang Diponegoro
dan pemasukan pajak tanah yang tidak mencukupi. Ditentang oleh Flout
dan Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda (Bel.: Road van Jndie)
tetapi disetujui raja Belanda Willem I. Rencana semula agak ningan;
rakyat harus menanami 1/5 bagian dan tanahnya dengan sanaman-tanaman
ekspor secara sukarela. Sebagai imbalan pemerintah memberikan
kelonggaran atau menghapuskan pajak bumi ditambah pemberian uang hadiah.
Tetapi dalam pelaksanaannya, rakyat makin lama makin dipaksa; korup si
merajalela. Penanaman gula, kopi, memang agak ringan; tetapi misalnya
penanaman nila sangat memberatkan. Sesudah 1848 muncul gerakan oposisi
yang makin menghebat di Nederland (Van Hoevel, Multatuli, dan
lain-lain). Sistem ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1861—1866; gula
dihapuskan dalam tahun 1890, kopi tahun 1916.© haxims.blogspot.com
Cultuurstelsel
(atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch
yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk
ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil
tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam
setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam
pajak.
Tanam
Paksa ini mulai dilaksanakan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada
tahun 1830, dan hal ini merupakan manifestasi dari “forced
specialization” yang didasarkan pada analisis manfaat komparatif Ricardo
oleh pihak penjajah.
Spesialisasi
tanam paksa ini dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk
kerja paksa atau mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi
kolonial di sektor pertanian. Proses ini mengakibatkan surplus ekonomi
yang praktis tanpa modal pokok yang berarti, karena modal pokok dalam
investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja petani kita di Pulau Jawa
(Frank, 1981)
Tenaga
kerja yang diperas dengan pendapatan riil yang kecil menempatkan para
petani menjadi tenaga kerja yang optimal bagi Belanda yang mana akhirnya
proyek ini menciptakan strata sosial di dalam masyarakat dan
menempatkan petani pada strata sosial bawah yang tidak sanggup
memperbaiki dirinya sendiri apalagi untuk melakukan mobilitas sosial
secara vertikal.
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Egbert de Vries (1931) atas kajiannya mengenai
kasus kegiatan pertanian di Pasuruan yang menjadi contoh kehidupan
petani pada waktu itu. Pada tahun 1926 Vries menggambarkan bahwa
sebanyak 62,5% dari penduduk pedesaan Jawa tergolong sebagai lapisan
miskin desa atau proletariat desa.
Kelompok
proletariat desa ini kemudian dalam sejarah investasi kolonial
berikutnya, yaitu pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan
Sumatra Timur setelah cultuurstelsel berakhir, menjadi sumber buruh
murah bagi perkebunan-perkebunan besar ini. Pengiriman penduduk dari
pulau Jawa ke Sumatera mirip dengan pengiriman budak oleh kekuasaan
kolonial Inggris ke West Indies untuk dipaksa bekerja di
perkebunan-perkebunan gula disana.
Surplus
ekspor (sesudah dikurangi impor) sebagai hasil cultuurstelsel tercatat
berjumlah 781 juta Gulden dalam periode 1840-1875 dan melonjak luar
biasa ketika terjadi pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan
Sumatera, yaitu menjadi 3,3 milyar gulden dalam periode 1915-1920
(Hatta, 1972), namun demikian tanam paksa ini tidak memberikan
kemakmuran bagi negara jajahannya.
Kondisi
kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini
mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen
di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar
(1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli.
Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita
akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Namun
demikian usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa
dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU
Agraria, Agrarische Wet. Tetapi tujuan yang hendak dicapai oleh kaum
liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka
mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan
liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh
karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di
bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa
seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi.
Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta,
sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara,
menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta
ketertiban.
UU
ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa
lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk
ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum
(nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam
bentuk sewa jangka pendek.
Hatta
(1972) melaporkan bahwa upah buruh perkebunan pada tahun 20an adalah
sekitar 50 sen per harinya, sedangkan dividen yang diterima oleh
pemegang saham modal swasta di negeri Belanda di Negeri Belanda
rata-rata berada di atas 40%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikkan
produktivitas buruh Indonesia bukan dinikmati oleh penduduk negeri ini,
tetapi oleh para pemegang saham bangsa Belanda di Negeri Belanda.
Contoh
lain akibat penindasan dan diskriminasi secara ekonomi ini, Hatta juga
melaporkan bahwa tahun 1925 pengeluaran pemerintah Hindia Belanda untuk
anak-anak Indonesia hanya 32 sen per kapita. Sedangkan untuk pendidikan
anak-anak Belanda di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda memberikan
sebanyak 75 gulden per kapita atau lebih besar 225 kali lipat. Perbedaan
yang mencolok ini mengakibatkan perbedaan kualitas pendidikan antara
bumiputera dengan bangsa belanda.
Dari
sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sistem ekonomi kolonial
Belanda baik berupa tanam paksa ataupun pembukaan perkebunan oleh kaum
pemodal-liberal Belanda di Indonesia bukan hanya mengobrak-ngabrik
struktur ekonomi Indonesia, tetapi juga memberikan kontribusi terhadap
kemiskinan dan diskriminasi yang dialami oleh bangsa Indonesia.
mantap infonya
ReplyDeletesemoga bermanfaat bagi banyak org
thanks ya