cari sesuatu om? ketik disini aza yaw

Tuesday, December 11, 2012

Teuku Umar

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854. Ayahnya bernama Achmad Mahmud yang berasal dan keturunan Uleebalang Meulaboh. Nenek moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Nachudum Sakti. Salah seorang keturunan Datuk Nachudum Sakti pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasa Panglima keturunan Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari bahaya. Berkat jasanya tersebut, orang itu kemudian diangkat menjadi Uleebalang 6 Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang kemudian mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. (Mardanas Safwan: 1981 : 34). Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang 6 Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhin. Ahmad Mahmud kawin dengan adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan itu ia memperoleh dua orang anak perempuan dan empat anak laki-laki. Dari keempat anak laki-lakinya, salah satu bernama Teuku Umar. Jadi Umar dan Cut Nyak Dhien merupakan saudara sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah Minangkabau, darah seorang Datuk yang merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya. (Hazil, 1955 : 48).
Baik Umar maupun Cut Nyak Dhien pada masa kecilnya tidak pemah bertemu, mereka hanya mengenal nama masing-masing. Ketika masih kecil, Umar merupakan anak yang sangat nakal, tetapi juga sangat cerdas. Sebagai anak nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya. Dalam perkelahian, ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian dan keunggulan di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala Kelompok anak-anak di kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar semakin disegani dan ditakuti oleh kawan dan lawannya bermain. Setelah berumur 10 tahun, ia memisahkan diri dari kehidupan orang tuanya, mengembara di rimba Aceh dan bertualang dari daerah satu ke daerah lain sambil mencari pengalaman hidup dan berguru. Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la pandai dan gemar bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu dalam masyarakat.
Jiwa kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873, Umar baru berumur 19 tahun. la belum ikut pada perang ini, karena umurnya masih sangat muda dan jiwanya belum mantap, kendatipun waktu itu la sudah diangkat menjadi Keuchik di daerah Daya Meulaboh. Ketika berumur 20 tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang. la semakin dihormati dan disegani karena mempunyai sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya, Umar menikah lagi dengan Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Mulai saat itu Umar memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya dari kekuasaan Belanda (Mardanas Safwan, 1981 : 35).
Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah seperti pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin yang cakap, disiplin dan mempunyai kemauan yang keras. Pengetahuannya diperoleh dari pengalaman hidup yang diperoleh dari pengembaraannya dari daerah satu ke daerah lain dan berguru pada orang-orang yang dianggapnya cakap. Di samping memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh dari petualangannya. Untuk mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman bangsa asing (Belanda), Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil membentuk pasukan. Orangorang yang berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan direkrut menjadi pasukan yang siap tempur.
Setelah Teuku lbrahim Lamnga gugur dalam perang melawan Belanda pada tahun 1878, istrinya (Cut Nyak Dhien) menjadi janda. Selama Cut Nyak Dhien menjanda, selalu mendapat perhatian khusus dari Teuku Umar. Yang menarik baginya bukanlah kecantikannya tetapi sifat keprajuritan yang ada dalam diri Cut Nyak Dhien. Ia mempunyai sifat keprajuritan, disiplin, dan keras hati, serta mencintai kemerdekaan Aceh. Wanita seperti Cut Nyak Dhien sangat tepat menjadi istri seorang pejuang. Dari sifat-sifat yang menarik hatinya itulah, diam-diam Teuku Umar jatuh cinta pada Cut Nyak Dhien. Seperti kata pepatah, “gayung bersambut” akhirnya cinta Umar dibalas dengan perasaan yang sama oleh Cut Nyak Dhien.
Pada waktu Ibrahim Lamnga masih hidup, Cut Nyak Dhien dengan setia membantu perjuangan suaminya. la sanggup berkorban apa saja demi perjuangan suaminya. Itulah yang menarik hati Teuku Umar. Setelah cintanya diterima dengan senang hati, Umar melamar Cut Nyak Dhien dan dalam tahun 1878 keduanya melangsungkan upacara perkawinan di Montasik. (H.M. Zainuddin et. al., 1972 : 4). Dengan demikian, Umar telah menikah untuk yang ketiga kalinya. Ketiga istrinya adalah sama-sama wanita bangsawan dan sama-sama keturunan Uleebalang. Dari perkawinan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien lahirlah anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Anak ini lahir jauh dari kampung halamannya karena ia harus lahir di tempat pengungsian. Ketika itu ayahnya (Umar) sedang memimpin pertempuran melawan Belanda. Di tempat pengungsian Umar berjanji pada anaknya bahwa pada suatu saat nanti ia akan mengantarkan anak dan istrinya kembali ke rumahnya di Montasik, karena hak milik yang dikuasai Belanda ini harus direbut kembali. Dengan suara kecil ia berbisik pada anaknya, bahwa kalau seandainya engkau kembali ke daerah 6 Mukim, engkau akan menjadi Hulubalang 6 Mukim. Dengan tersenyum dan suara kecil Teuku Umar melanjutkan pula berkata kepada istrinya, bahwa engkau akan menuntut pula sebagai Panglima Sagie 26 Mukim apabila Panglima Sagi yang sekarang meninggal dunia. (Hazil, 1955 : 59).
Peranan Teuku Umar Pada Permulaan Perang
Pada tahun 1871 Inggris dan Belanda bertemu dalam Traktat Sumatera. Dalam Traktat tersebut disebutkan bahwa Belanda bebas bergerak dan mengadakan perluasan wilayah di Aceh. Rakyat Aceh marah mengetahui perjanjian tersebut. Kemarahan itu sebenarnya sudah lama terasa setelah melihat gelagat dan gerak-gerik Belanda di Sumatera yang merugikan Aceh telah terbaca sejak tahun 1857. Pada tahun itu Belanda menduduki Siak yang merupakan daerah taklukan Aceh. Setelah lahir Traktat Sumatra tahun 1871, rakyat Aceh semakin meluap-luap marahnya.
Pada tanggal 5 April 1873, Belanda dengan kekuatan 3000 orang tentara menyerang Kerajaan Aceh Darussalam dan berhasil menduduki Mesjid Raya Baiturrahman. Namun dapat direbut kembali oleh pejuang Aceh setelah Panglima tentara Belanda Mayor Jenderal JHR. Kohler ditembak mati oleh pejuang Aceh pada tanggal 14 April 1873. Dengan tewasnya JHR. Kohler, penyerbuan tidak diteruskan. Seluruh pasukan Belanda yang ada di Aceh akhirnya ditarik kembali. (Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 : 246).
Pada bulan Nopember tahun 1873 dikirimlah ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Van Swieten dengan tentara sebanyak 13.000 orang. Serbuan kali ini berhasil menduduki Mesjid Raya Baiturrahman. Sebelum Istana Raja oleh pasukan diserbu Belanda, Sultan dan seluruh penghuninya telah diungsikan. Dalam pengungsiannya, Sultan terserang penyakit kolera dan akhirnya meninggal. Para pengikutnya memindahkan tempat pengungsiannya sampai jauh ke pedalaman Aceh Besar. Dalam perangnya melawan gerilyawan Aceh, Belanda menggunakan strategi menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Hal ini terjadi juga dengan adanya raja-raja daerah pantai yang menyatakan tunduk pada Pemerintah Kolonial Belanda. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 387).
Waktu Jenderal Van Der Heiden menggantikan Jenderal Pel, mulailah diadakan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII. Panglima Polem terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain. Melihat tentara Aceh terus terdesak oleh ofensif pasukan Belanda, Teuku Umar mulai bekerja keras. la menghubungi para pemuda Aceh untuk diajak bersama-sama berjuang melawan Belanda. Umar juga menjelaskan pada para pemuda Aceh bahwa mempertahankan tanah air dan tanah tumpah darah dari serangan musuh adalah kewajiban setiap orang Aceh terhadap Tuhannya. Artinya, barang siapa yang tidak mau mengusir atau melawan penjajah, maka orang itu akan mendapat hukuman dari Tuhan, sebab tanah tumpah darah itu sebagai karunia Tuhan kepada manusia yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya dan dilarang orang menyerahkan kepada bangsa Asing. Milik Aceh adalah untuk rakyat Aceh. Demikian cara Teuku Umar menggugah semangat perjuangan para pemuda Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan. Dengan cara demikian Teuku Umar berhasil merekrut sejumlah besar tentara pejuang yang berani mati.
Nama Teuku Umar mulai menjadi buah bibir dan terkenal di seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu juga memberikan latihan-latihan perang gerilya kepada calon-calon prajurit. la juga sibuk menghubungi para pemimpin rakyat lainnya untuk diajak berunding mengatur siasat perjuangan. Ia menentukan satu orang saja yang akan dijadikan pemimpin mereka dan kemudian menentukan pula waktu peperangan akan dilancarkan. Perundingan antara semua pemimpin perjuangan kemerdekaan itu sepakat untuk mengangkat Nanta Setia sebagai pemimpin tertinggi perjuangan kemerdekaan. (Achmad Effendi, 1975 : 28).
Perang akan dikobarkan di daerah 6 Mukim dalam tahun 1873. Teuku Umar yang waktu itu baru berumur 19 tahun, sebelum berangkat ke medan perang terlebih dahulu berpamitan pada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya meneteskan air mata haru bercampur bangga bahwa Teuku Umar telah berikrar bersama rakyat mengusir penjajah Belanda di Aceh dan berjuang sampai titik darah penghabisan. (H.M. Zainuddin, 1972 : 5).
Pada waktu perang berkobar, prajurit-prajurit Aceh sangat bersemangat, walaupun persenjataanya sangat sederhana dibandingkan dengan prajurit Belanda, namun mereka dapat mendatangkan korban yang besar di pihak lawan. Kesemua itu dapat terjadi karena antara lain disebabkan tentara Aceh mahir bertempur secara gerilya dan hidup di hutan belantara yang sudah mereka kuasai medannya. Berdasarkan pengalaman selama pertempuran itu Belanda kemudian menyadari bahwa untuk dapat mengalahkan tentara Aceh, maka harus memiliki kemahiran bertempur dihutan belantara dan mendatangkan bala bantuan dari Batavia lengkap dengan persenjataan serta perlengkapan perang lainnya. (Mawarti Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 : 427).
Setelah pasukannya diperkuat dan bala bantuan dari Batavia didatangkan, Belanda dapat menimbulkan korban yang lebih besar di pihak Aceh. (Achmad Effendi, 1975 : 34). Mulai saat itulah Aceh mengalami kekalahan besar, terlebih ketika Teuku Ibrahim Lamnga gugur terbunuh oleh tentara Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 di daerah Gunung Param. (Ahmad Effendi, 1975 : 35). Jenasahnya dimakamkan di Montasik Aceh Besar. Seluruh tentara Aceh berkabung akibat kematian Teuku Ibrahim Lamnga itu.
Tetapi yang paling sedih adalah Nanta Setia dan Cut Nyak Dhien. Kekalahan tentara Aceh pada waktu itu menjadi perhatian Teuku Umar. la berfikir keras untuk mendapatkan pelajaran dari kekalahan itu bagi perjuangan tentara Aceh selanjutnya. Akhirnya Umar dapat mengetahui bahwa sumber utama kekalahan adalah di bidang persenjataan. Belanda dapat mengalahkan tentara Aceh karena Belanda memiliki senjata yang lebih baik dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang dimiliki tentara Aceh. Sehubungan dengan itu Teuku Umar kemudian menetapkan bahwa dalam peperangan mempertahakan kemerdekaan, maka rakyat dan tentara Aceh harus dapat merebut senjata dan perbekalan yang banyak dan tangan musuh, walaupun harus menghalalkan segala cara. Tetapi bagaimanakah hal itu dapat terjadi? Itulah yang selalu menjadi bahan peikiran Teuku Umar setiap hari. Pada waktu diadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pejuang lainnya, Teuku Umar mengajukan suatu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Cara itu kemudian mendapat persetujuan dari para pemimpin yang hadir la telah menentukan suatu siasat, tetapi siasat itu sifatnya sangat rahasia dan hanya pemimpin-pemimpin pejuang tertentu saja yang boleh tahu.
Teuku Umar Memimpin Perlawanan Dengan Berbagai Siasat
Pada tahun 1883 di Aceh terjadi suatu peristiwa yang sangat menggemparkan, yaitu berita mengenai Teuku Umar menyerahan diri dan memihak kepada Belanda. (Rusdi Sufi, 1994: 88). Rakyat Aceh marah dan banyak yang mengutuk sebagai pengkhianat diantara mereka ada pula yang menghendaki agar Teuku Umar dibunuh oleh rakyat sendiri. Sementara itu, Belanda sangat gembira menerima penyerahan diri Teuku Umar. Dengan menyerahnya Teuku Umar, Belanda berharap dapat dengan mudah menaklukkan seluruh rakyat Aceh. Setelah menyerahkan diri, maka Umar mendapat kepercayaan dari Belanda. Ia diserahi tugas yang penting-penting untuk melaksanakan keinginan Belanda menumpas perlawanan rakyat Aceh. Pada mulanya tugas yang diberikan kepada Teuku Umar adalah melatih tentara Belanda bertempur di hutan belantara dan mengajarkan teknik perang gerilya.
Teuku Umar melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, tetapi di dalam hatinya ia memegang teguh siasat perang yang telah ditetapkan bersama dengan para pemimpin pejuang Aceh beberapa waktu sebelumnya. Selesai melatih perang gerilya di hutan belantara, Teuku Umar ditugaskan memimpin penumpasan perlawanan rakyat Aceh. Dalam pertempuran itu memang banyak korban jatuh di kedua belah pihak, tetapi tentara Belanda banyak yang mati dan senjatanya banyak yang berhasil dirampas tentara Aceh. Tentara Aceh hanya sebentar saja mampu melawan serangan tentara Belanda dan kemudian mereka mundur meninggalkan benteng pertahanannya. Apalagi tentara Aceh hanya berpura-pura saja berperang melawan tentara Umar. Demikian juga sebaliknya Umar juga berpura-pura menyerang Aceh. Karena tidak tahu siasat Umar, Belanda gembira menyaksikan mundurnya tentara Aceh itu. Belanda menganggap dengan bantuan Umar, mereka dapat mematahkan seluruh perlawanan Aceh. Untuk itu, Umar mendapat hadiah besar berupa uang dan materi lainnya yang berguna untuk menambah modal perang tentara Aceh yang dikirim secara rahasia. Ketika sebuah kapal Inggris yang bernama “Nicero” terdampar dan dirampas oleh raja Teunom, kapten dan awak kapalnya disandera. Raja Teunom menuntut kepada pemilik kapal, bahwa sandera akan dibebaskan jika pemilik kapal sanggup menebusnya dengan uang tunai sebesar 10.000 dolar. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut. Pembebasan kapal milik Inggris ini harus dilakukan pihak Belanda karena perampasan kapal tersebut telah mengakibatkan ketegangan hubungan antara Inggris dengan Belanda.
Pada waktu menerima tugas tersebut Teuku Umar menyatakan bahwa merebut Kapal “Nicero” dari raja Teunom merupakan pekerjaan yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, wajarlah kalau Inggris sendiri tidak dapat merebut kembali kapal tersebut. Namun ia sendiri dengan pasukan Belanda yang dipimpinnya sanggup merebut kembali kapal itu asal ia diberi perbekalan dan persenjataan yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Setelah memperoleh perbekalan perang yang cukup banyak, berangkatlah Teuku Umar dengan kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa orang panglimanya. Beberapa waktu setelah upacara pemberangkatan tersebut, kalangan Belanda dikejutkan oleh sebuah berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ditugaskan untuk merebut kembali kapal “Nicero” telah dibunuh di tengah laut oleh Teuku Umar bersama anak buahnya. Seluruh senjata dan amunisi beserta perlengkapan perang lainnya dirampas. (H.M. Zainuddin, 1972 : 5).
Sejak saat itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Selain itu, Teuku Umar menyarankan Raja Teunom supaya jangan sekali-kali mau mengurangi tuntutannya. Kalangan Belanda menjadi goncang akibat siasat Teuku Umar itu. Belanda sangat marah terhadapnya. Sejak saat itu Pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan bahwa Belanda akan membayar upah senilai 25.000 dolar kepada siapa saja yang sanggup menculik Umar dan membawanya ke Banda Aceh hidup atau mati. Efek pengumuman ini di kalangan rakyat tidak ada sama sekali, karena memang tidak ada yang berani berbuat demikian sebab telah diperhitungkan tidak akan berhasil.(Moehammad Said, 1985 : 228).
Mengenai kapal “Nicero”, Belanda terpaksa menerima tuntutan Raja Teunom untuk membayar pembebasan sandera sebesar 10.000 dolar. Setelah menerima uang sebesar tuntutannya, maka pada tanggal 10 September 1884 Raja Teunom
menyerahkan 18 orang awak kapal “Nicero” yang masih hidup. la berbesar hati karena dapat menggegerkan negara-negara besar dengan peristiwa tersebut. (Moehammad Said, 1985: 229). Sementara itu Teuku Umar yang telah kembali ke pihak Aceh menerima sambutan hangat dari seluruh rakyat. Semua senjata hasil rampasan segera dibagi-bagikan kepada tentara Aceh. Sejak saat itu, Teuku Umar memimpin perlawanan rakyat menentang Belanda. Serangan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Teuku Umar berhasil dengan gemilang merebut daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Sejak saat itu Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang. (Achmad Effendi, 1975 : 43-44). Kemudian rumah Teuku Umar di Lampisang tersebut dijadikan markas besar bagi para pejuang kemerdekaan Aceh. Pada suatu pertemuan antara para pemipin pejuang di bawah pimpinan Teuku Umar dapat dicapai keputusan penting untuk memperkuat persenjataan. Untuk keperluan tersebut, tentara Aceh harus dapat merebut senjata Belanda dengan cara apa saja. Kendatipun juga harus diusahakan dengan mendatangkan senjata gelap dari para penyelundup yang sanggup menembus blokade di seputar perairan Aceh.
Mengingat penjagaan pantai seputar Aceh dan Selat Malaka yang dilakukan oleh kapalkapal perang Belanda tidak cukup banyak, maka perdagangan senjata gelap masih dapat lolos dari pengawasan. Dua tahun setelah peristiwa terjadinya kapal “Nicero” yang merupakan pukulan berat bagi Belanda, tentara Teuku Umar kembali membuat kegoncangan di kalangan Belanda. Pada saat-saat perang yang tidak menentu, ada petualang yang ingin menangguk di air keruh. Petualangan ini dilakukan oleh Kapten Hansen seorang warga negara Denmark yang membawa kapal “Hok Kanton”. Kapal ini dengan izin Belanda boleh mondar-mandir di perairan Aceh terutama antara Rigaih, Uleulheu dan Penang. (Moehammad Said, 1985 : 184).
Walaupun pengawasan Belanda ketat, tetapi Hansen pandai menyelundupkan senjata yang dipesan Aceh. Pada tanggal 12 Juni 1886, kapal “Hok Canton” berangkat ke Ruegaih. Turut pula sebagai penumpang Kapten Roura, katanya untuk mengambil kapal “The Eagle” yang kebetulan berlabuh di Ruegaih. Hansen sebenarnya hendak menjebak Umar untuk naik ke kapalnya di Pelabuhan Ruegaih, menculiknya untuk selanjutnya tanpa membayar lada yang bakal dimuat, mengangkutnya ke Uleulheu menyerahkannya kepada Belanda dan lalu menerima hadiah uang sebesar $ 25.000,-.
Setibanya di Reugaih tanggal 15 Juni 1886 Roura turun dan berjumpa dengan Umar melapor apa yang dipesankan kepadanya. Teuku Umar tidak percaya karena dia kenal betul siapa Roura dan siapa Hansen, keduanya saling konkurensi keras. Keduanya di mata Teuku Umar setali tiga wang, ringgit dan rupiah, bandit dan buaya. Dalam perundingan transaksi pembelian lada, Hansen mengemukakan bahwa pembayaran lada akan dilangsungkan di kapal setelah lada dimuat. Muncul rasa was-was dalam hati Teuku Umar. Setelah selesai pemuatan, Teaku Umar mengutus orangnya untuk menerima pembayaran, tetapi datang kabar dari kapal mengatakan bahwa Hansen ingin Teuku Umar datang sendiri. Sampai tiga kali utusan Teuku Umar itu mondarmandir di kapal, tetapi Hansen tetap teguh pada pendiriannya. Akhirnya Teuku Umar berkesimpulan bahwa Hansen memang beramaksud ingin menipunya. Malam itu juga Teuku Umar mengatur siasat untuk bertindak. Pagi dini hari seorang Panglima Teuku Umar bersama 40 orang prajuritnya telah menyusup ke kapal dan mengepung Hansen yang berada dalam kamar bersama istrinya. Hansen tidak tahu kalau sebenarnya dirinya sudah dikepung. Teuku Umar segera menemui Kapten Hansen menuntut pelunasan harga lada sebanyak $5.000,- sambil menandaskan bahwa setiap keingkaran akan ditindak. Namun Hansen ingkar janji sehingga terjadi perlawanan. Hansen memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Teuku Umar, tetapi Teuku Umar tahu apa yang akan dilaksanakan Hansen, sehingga Teuku Umar terlebih dahulu memberi isyarat pada anak buahnya untuk bertindak, sehingga terjadilah perlawanan atau perkelahian antara anak buah dengan anak buah Teuku Umar. Anak buah Hansen berhasil dilumpuhkan oleh 40 orang Prajurit Umar. Hansen sendiri berusaha melarikan diri dan akhirnya ditembak mati. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan 6 awak kapal Hok Canton dilepas. (Moehammad Said, 1985 : 185-196).
Berita penyanderaan ini rnenggegerkan Belanda dan merupakan pukulan keras bagi Pemerintah Kolonialnya. Tidak heran jika Belanda segera mengambil tindakan keras. Beberapa kapal perang Belanda dikirim ke Reugaih dan dipimpin sendiri oleh Gubernur Militer Jenderal Van Teijn untuk menghancurkan Ruegaih. Tetapi Teuku Umar mengirim peringatan bahwa perbuatan demikian akan sia-sia dan akan dibalas dengan hukuman mati bagi para tawanan Nyonya Hansen dan John Fay. Takut akan ancaman itu, Belanda tidak jadi membom Kampung Ruegaih, tetapi memerintahkan kapal-kapalnya pulang ke Uleulheu.
Teuku Umar memerintahkan kepada Panglimanya untuk membawa tawanannya ke pedalaman agar mereka tidak lari atau diculik. Nyonya Hansen diberi kesempatan menulis surat kepada Belanda bahwa ia dapat dilepas jika ditebus sebanyak $ 40.000, dengan ketentuan bahwa persoalan tidak berekor lagi. Setelah persoalannya berlarutlarut sampai 2 bulan, akhirnya tidak ada jalan lain kecuali menerima tuntutan Umar. Pada akhir bulan September 1886 perundingan selesai. Uang tebusan disepakati sebanyak $ 25.000,- diserahkan kepada Teuku Umar. Tanggal 6 Oktober 1886 Nyonya Hansen dan John Fay sudah berada di Banda Aceh.
Peristiwa kapal Hok Canton memang sudah selesai, tetapi menyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda menjadi bertindak sangat hati-hati dan selalu waspada dalam menghadapi perlawanan Aceh. Kekuatan Teuku Umar harus diperhitungkan oleh Belanda sebab kekuatannya sudah sangat besar dan menimbulkan banyak kerugian bagi Belanda. Pengaruh pribadi Teuku Umar terhadap seluruh rakyatnya sangat besar, kunci kekalahan dan kemenangan rakyat Aceh menurut Belanda sepenuhnya berada ditangan Teuku Umar. Belanda mulai memikirkan cara baru untuk menundukkan rakyat Aceh. Penumpasan perlawanan rakyat dengan jalan kekerasan dianggap tidak efisien. Jalan yang ditempuhnya itu sering kali berbeda pendapat antara penguasa setempat dengan Batavia. Pada umumnya ada kecenderungan menunggu dan defensif, tidak lain karena perang telah makan banyak biaya.
Sejak tahun 1890, Snouck Hoergronje mempelajari masyarakat Aceh. Berdasarkan studi itu, Snouck Hoergronje memberikan saran-saran kepada Pemerintah Belanda agar menggempur semua pemimpin Aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 389). Strategi ini didasarkan pada kesimpulan bahwa rakyat Aceh semuanya beragama Islam secara murni dan dipengaruhi oleh fanatisme ajaran agama yang menyatakan bahwa perang sabil melawan kaum kafir itu mutlak perlu. Saran dari Snouck Hoergronje ini berhasil menekan perjuangan rakyat setelah strategi itu benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Panglima Polem gugur dalam pertempuran. Namun perlawanan tak Pernah berakhir, Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pusing. Biaya perang membengkak menjadi $ 135.000.000,-. Untuk mengatasi ini Pemerintah di Istana Buitenzorg mengangkat Deykerhooff menjadi Gubernur Militer di Aceh untuk mengamankan daerah yang sulit ditundukkan itu. Setelah menjadi Gubernur di Aceh Deykerhooff berusaha untuk mendekati kaum bangsawan dan Uleebalang karena mereka dipandang sebagai pemberi dana perang kepada tentara Aceh. Siasat ini berhasil mendorong Teuku Umar berubah pendapat untuk berpihak kepada Belanda. Justru setelah adanya maklumat Pemerintah di Batavia yang akan mengampuni dan memberi hadiah besar kepada Teuku Umar jika ia mau menyerahkan diri dan membantu Belanda.
Di lain pihak Teuku Umar sendiri merasa bahwa pertempuran ini dianggap sangat menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, Teuku Umar berpendapat bahwa untuk memperbaiki nasib rakyat yang sangat menderita agar dapat bekerja sebagaimana biasanya dan para petani dapat ke sawah lagi mengerjakan sawah ladangnya, maka Teuku Umar perlu merubah taktik dengan cara menyerahkan diri kepada Belanda. Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Banda Aceh bersama dengan 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan dari Gubernur Aceh tersebut. Setelah bersumpah setia Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal seorang Panglima Besar serta dilengkapi dengan 2 buah meriam kecil di halaman depan rumah. Sejak saat itu, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang emas di dadanya. (Hazil, 1955 : 97).
Tugas-tugas yang harus dikerjakan yaitu menumpas perlawanan rakyat dan mengamankan seluruh daerah Aceh. Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap suaminya yang nampak hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan kedudukan saja dengan mengorbankan kepentingan bangsanya. Sering terjadi percekcokan antara Umar dan istrinya Cut Nyak Dhien. Untuk menghindari percekcokan itu Teuku Umar selalu menghindarkan diri dari gugatan istrinya sehingga membuat Cut Nyak Dhien menjadi heran dan tidak mengerti sikap suaminya yang demikian itu. Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan sangat menyenangkan. Setiap ada panggilan dari Gubemur Belanda di Banda Aceh ia selalu menemui dengan segera dan memberikan laporan yang memuaskan kepada Belanda, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda. Kepercayaan dan penghargaan Belanda itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Teuku Umar untuk mencapai maksudnya sendiri demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat yang dipimpin Teuku Mat Amin. Anggota pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Setelah mendapat kepercayaan, Teuku Urnar diberi tugas oleh Belanda untuk mengamankan seluruh Aceh Besar. Untuk langkah pertama harus diamankan daerah 26 Mukim. Teuku Umar dapat mengamankan daerah tersebut dengan baik sehingga kepercayaan gubernur menjadi semakin besar. Hal ini menimbulkan rasa iri hati dari tokoh-tokoh yang lebih dulu bekerjasama dengan Belanda, seperti misalnya Teuku Nek Meuraxa dan Panglima Tibang. Di samping itu, tokoh-tokoh perwira Belanda sendiri banyak yang tidak senang melihat Teuku Umar mendapat kepercayaan dari atasannya. (H.M. Zainuddin, 1972: 6).
Sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial. (Anonim, 1995 : 74). Pada suatu hari di Lampisang Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadari pemimpin-pemimpin pejuag Aceh yang akan membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Pada huri itu Cut Nyak Dhien baru mengetahui dengan pasti bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda pada waktu memihak Belanda secara diam-diam oleh Teuku Umar dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangannya dalam perang melawan Belanda.
Pada tanggal 30 September 1896, Teuku Umar dengan seluruh pasukannya meninggalkan Belanda untuk selama-lamanya dengan membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg mesiu, 5 ton timah, $ 18.000,- uang tunai dan lain-lain alat militer yang berharga. Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Beianda. Dan hal ini sudah diduga oleh Snouck Hoergronje. la berpendapat Teuku Umar tidak pernah melepaskan sikapnya memusuhi Belanda. Apabila Gubernur menaruh kepercayaan besar kepada Umar, itu menandakan kebodohan Deyker Hooff dan kelicikan Teuku Umar. (H.C. Zentgraaff, 1982 : 257). Teuku Umar tidak memihak kepada Belanda, tetapi ia menjalankan taktiknya yang ternyata berhasil baik. Setelah mengalami kegagalan total politik damai mulai ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Deykerhooff yang bertanggungjawab atas larinya Teuku Umar dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. (Hazil, 1955: 115-119). Jenderal Vetter mendapat tugas untuk memerangi Teuku Umar. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa dengan 3 buah kapal perang yang kemudian dihimpun di Uleulheu. Menurut Jenderal Vetter, Teuku Umar harus diberi hukuman yang berat karena sangat merugikan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara yang sulit dipahami. (T. Syahbuddin Razi, 1976. 163).
Sementara Belanda sibuk mempersiapkan diri, Teuku Umar tidak tinggal diam. Ia menyusun kembali tentara Aceh yang cerai berai. Seluruh komando dari perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot. Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Barulah pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando, yaitu di bawah komando Teuku Umar. Teuku Umar mengerti bahwa ia harus berjuang mati-matian melawan Van Heutsz, musuh lamanya. Dalam maklumatnya Jenderal Vetter mengatakan bahwa Belanda hanya memerangi Teuku Umar dan bukan rakyat 4 Mukim dan 6 Mukim. Semua benteng yang didirikan dulu untuk Gubernemen, seperti Aneuk Galong, Seunelop, Lamkunyit, Bilul, Cot Rang dan Krueng Gelumpang diledakkan dan ditinggalkan oleh Belanda.
Sejak memulai perang, Vetter mengajukan tuntutannya kepada Umar. Ultimatumnya meminta segala senjata harus diserahkan kembali kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu, maka pada tangga 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Panglima Perang Besar dan Gubernemen Hindia Belanda dan sebagai Hulubalang Leupong. Ultimatum Jenderal Vetter dan ancaman Van Heutsz dibalas Teuku Umar dengan serbuan gencar sehingga perang berkobar lagi. Mengingat kekuatan Belanda lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya, maka barisan Aceh semakin menipis karena banyak yang gugur dalam pertempuran. Dalam pada itu, Belanda terus menciptakan perangkap untuk menangkap Teuku Umar. Namun usaha Belanda tersebut selalu gagal karena Teuku Umar juga ahli dalam siasat perang. Melihat kelicinan dan kehebatan Teuku Umar, maka Gubernur Belanda di Aceh Van Vliet melaporkan kepada Pemerintahnya sebagai berikut: Meskipun Belanda bertindak terus menerus pihak Aceh tetap memberikan perlawanan, Belanda belum dapat menguasai pemberontakan ini, malah api pemberontakan tetap berkobar. Teuku Umar terus memberikan perlawanan yang sengit dan Leupong, dan usaha untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati gagal sama sekali. (Hazil, 1955 : 129).
Laporan Van Vliet ini memang sesuai dengan kenyataan karena biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak sesuai dengan hasil yang dicapai. Berdasarkan hasil penyelidikan intelijen pada awal tahun 1897, Belanda mengetahui keberadaan Teuku Umar dan pasukannya di Loong. Dan segera dikirim pasukan Belanda ke sana untuk menangkapnya. Ketika sampai di tempat yang dituju, pasukan Umar telah menghindarkan diri ke lereng bukit dan menembaki pasukan Belanda dari tempat itu. Tentara Belanda berusaha untuk merebut lereng bukit itu, tetapi tidak berhasil. Sewaktu akan mundur, tentara Belanda kembali dihadang oleh pasukan Aceh. Di beberapa tempat dipasangi ranjau sehingga banyak meriam Belanda yang jatuh ke dalam lubang perangkap sehingga tentara Belanda banyak yang tewas dan senjatanya dapat dirampas.
Walaupun akhirnya Loong ditinggalkan juga oleh pasukan Teuku Umar, tetapi korban di pihak Belanda cukup besar. Pada tahun 1898 Teuku Umar sebagai pimpinan perang Aceh membuat rencana peperangan di Pedir. Secara garis besar rencana itu sebagai berikut :
1. Perang besar sedapat mungkin dihindarkan dengan tentara Belanda.
2. Laskar akan bergerak di seluruh barat dan barat daya Aceh.
3. Tempat yang ditinggalkan Belanda harus diduduki dan dikuasai untuk mengganggu dan melawan Belanda.
4. Perlawanan dilakukan secara gerilya dan memukul musuh dalam keadaan mereka lengah.
Gerakan Teuku Umar dalam memimpin pasukan sangat cepat dan ia tak dapat ditakuti meriam-meriam Belanda yang dibawanya karena Umar dengan mudah dapat mundur ke daerah pegunungan yang berhutan lebat. Dengan demikian, Teuku Umar dengan pasukan Belanda main sembunyi-sembunyian dalam permainan dengan maut. Pada saat yang genting Umar selalu mendapatkan bantuan dari istrinya Cut Nyak Dhien dan pengikut-pengikutnya yang setia. Mereka merintis jalan di hutan yang jarang dilalui manusia. Demi keselamatan prajuritnya, Teuku Umar melarang anak buahnya mempergunakan api dan senapan agar tidak kelihatan oleh musuh. (Hazil, 1955: 135).
Pada bulan Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh dengan tanpa pengawalan yang ketat sebagaimana biasanya. Keadaan ini diketahui oleh Teuku Umar dari mata-matanya yang bertugas di sana. Untuk menangkap dan mencegat Jenderal Belanda tersebut, Teuku Umar bersama sejumlah pasukannya datang ke Meulaboh. Tetapi malang bagi Umar karena sebelum rencananya berhasil dilaksanakan, gerak-gerik Umar justru telah diketahui oleh Belanda Setelah mendengar laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, Jenderal Van Heutsz segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan kota Meulaboh untuk mencegat Teuku Umar. Pada malam menjelang tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya telah berada di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika mengetahui pasukan Van Heutsz telah mencegatnya. Posisi pasukannya sudah tidak menguntungkan dan tidak mungkin lagi untuk mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur.
Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya. (Muhammad Ibrahim et.al., 1991 : 121). Seorang tangan kanannya yang sangat setia bernama Pang Laot begitu melihat Teuku Umar rebah terkena tembakan peluru Belanda segera melarikan jenazah Teuku Umar agar tidak jatuh ke tangan musuh. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya ini, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Justru dengan gugurnya suaminya tersebut Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Untuk itu ia kemudian mengambil alih pimpinan perlawanan yang tadinya dipegang oleh suaminya.

sumber http://rindamiskandarmuda.mil.id/teuku-umar/

Tuanku Imam Bonjol

Petisi ini mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan, dan meluruskan sejarah Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, sejarah tanah Sumatra, dan sejarah Republik Indonesia.

Tuanku Imam Bonjol berkhianat pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, membantai keluarga kerajaan, memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan lebih satu juta jiwa, menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X, bertanggung-jawab atas masuknya Kerajaan Belanda di tanah Sumatera Utara dan Minangkabau.



Latar Belakang:
Tuanku Imam Bonjol, alias Muhammad Shahab, alias Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, lahir 1722 di Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, meninggal di Pineleng, Minahasa, 6 November 1864.

Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 Nopember 1973.

Pada kenyataannya ditemukan fakta-fakta berikut:
1.Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu panglima utama Gerakan Wahabbi Paderi (1801 1838) dibawah Tuanku Nan Renceh, dan kemudian menjadi pimpinan Gerakan Wahabbi Paderi. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban dan Al-Qaeda, yaitu Wahabbi ekstrim.
2.Gerakan Wahabbi Paderi melakukan pemberontakan bersenjata (1803 1838) pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, dan melakukan pembantaian kejam atas Sultan Arifin Muning Alam Syah beserta keluarga dan pembesar Kerajaan dalam perundingan damai pada 1908 di Tanah Datar.
3.Gerakan Wahabbi Paderi memaksa Pemerintah Kerajaan Minangkabau di pembuangan, dibawah Sultan Alam Bagagarsyah (lolos dari pembantaian Paderi 1908) untuk melibatkan Kerajaan Belanda, yang berujung pada aneksasi Minangkabau kedalam Hindia Belanda (10 Februari 1821).
4.Tuanku Imam Bonjol memperoleh kewenangan dari Tuanku Nan Renceh untuk memimpin Benteng Bonjol (1808) atas jasanya dalam serangan ke pusat Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung di Tanah Datar. Tuanku Imam Bonjol mendapat mandat untuk menyerang dan menguasai wilayah Utara Minangkabau.
5.Tuanku Imam Bonjol adalah pimpinan Gerakan Wahabbi Paderi yang melakukan invasi ke Tanah Batak (1815 - 1820).
6.Invasi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang akibat perang, penjarahan, kelaparan, dan wabah kolera yang timbul sebagai dampak invasi. Invasi diwarnai penjarahan, penculikan, pemerkosaan, perbudakan, dan pembantaian. Invasi menewaskan Sisingamangaraja X, Raja Bakkara (1819), melemahkan kerajaan tersebut dalam perang di kemudian hari melawan invasi Kerajaan Belanda.

http://www.petitiononline.com/bonjol/petition.html

Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin, Raja ke-16 dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan. Foto: Indonesiastamps.com
Sultan Hasanuddin atau yang sering dikenal dengan nama julukan "Ayam Jantan dari Timur" lahir di Makasar, Sulawesi Selatan tanggal 12 Januari 1631. Beliau meninggal juga di Makasar tanggal 12 Juni 1670 pada usia yang cukup muda, yaitu 39 tahun.
Selama masa hidupnya, Sultan Hasanuddin juga dikenal dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. (Whuaaaah.. panjang banget namanyaaa) .
Nah, setelah beliau memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar lagi, yaitu Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana . Yaaa, kalau disingkat sih, Sultan Hasanuddin saja.
Sultan Hasanuddin adalah putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Saat menjadi Raja Gowa ke-16 , menggantikan ayahandanya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten (Ayam Jantan/Jago dari Timur) oleh Belanda karena keberaniannya.
Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa ketika Belanda sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Asal kamu tahu saja, ketika itu, Kerajaan Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur. Foto: Flickr.com
Tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Belanda berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi mereka belum berhasil menundukkan Kerajaan Gowa. Karena Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Belanda.
Pertempuran antara Belanda dan para pejuang Kerajaan Gowa terus berlangsung. Belanda menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya.
Dengan perjanjian ini, Gowa merasa dirugikan. Karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Belanda minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat.
Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Belanda, hingga akhirnya berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669.
Akhirnya, Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di Katangka, Makasar . Oleh Pemerintah Indonesia, Sultan Hasanuddin diangkat sebagai Pahlawan Nasional tahun 1973.

(Kidnesia/wikipedia.org ) http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Archive/Tokoh/Sultan-Hasanuddin

Kapten Czi Anumerta Pierre Andries Tendean.

Pierre Tendean dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 pebruari 1939, putera dari DR. A.L Tendean yang berasal dari Minahasa, sedang ibunya seorang berdarah Perancis bernama Cornel ME. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya semua wanita, sehingga sebagai satu-satunya anak lelaki dialah tumpuan harapan orang tuanya.
Sesudah Pierre tamat dari SD di Magelang, meneruskan ke SMP bagian B dan kemudian ke SMA bagian B di Semarang. Setelah tamat dari SMA orang tuanya menganjurkan agar Pierre masuk Fakultas Kedokteran. Akan tetapi Pierre telah mempunyai pilihan sendiri, ingin masuh Akademi Militer Nasional, dan bercita-cita menjadi seorang perwira ABRI.

Pierre memasuki ATEKAD Angkatan ke VI di Bandung tahun 1958 dan dilantik sebagai Letda Czi tahun 1962. Setelah mengalami tugas, antara lain sebagai Danton Yon Zipur 2/Dam II dan mengikuti Pendidikan Intelijen tahun 1963 serta pernah menyusup ke Malaysia masa Dwikora sewaktu bertugas di DIPIAD, maka pada tahun 1965 diangkat sebagai Ajudan Menko Hankam/Kasab Jenderal TNI A.H. Nasution dengan pangkat Lettu.
Dalam jabatan sebagai Ajudan Jenderal TNI A.H. Nasution inilah Pierre Tendean gugur sebagai perisai terhadap usaha G 30 S/PKI untuk menculik/membunuh Jenderal TNI A.H. Nasution.
Di saat gerombolan G 30 S/PKI masih dan berusaha menculik Pak Nas pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Pierre yang saat itu sedang tidur di paviliun rumah pak Nas, segera bangun, karena mendengar kegaduhan di rumah pak Nas. Ketika ia keluar, ia ditangkap oleh gerombolan penculik yaitu oleh Pratu Idris dan Jahurup. Ketika Pierre menjelaskan bahwa dialah Ajudan Pak Nas, maka pihak gerombolan salah dengar bahwa dialah pak Nas. Kemudian dia diikat kedua tangannya dan dibawa dengan truk ke Lubang Buaya.
Di lubang Buaya Pierre besama dengan Brigjen TNI Sutoyo dimasukan ke dalam rumah yang terletak dekat sumur tua. Setelah disiksa secara kejam oleh anggota-anggota G 30 S/PKI berdasarkan giliran paling akhir dibunuh dan dimasukan ke dalam Lubang Buaya bersama Pimpinan TNI AD lainnya.


sumber http://www.mabesad.mil.id/artikel/g30spki/artikel_pierre.htm

Abdul Muis (1883—1959)

 LATAR BELAKANG KELUARGA:


Abdul Muis lahir pada tanggal 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti halnya orang-orang Minangkabau Iainnya, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak masih remaja ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Puiau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di perantauan.

Sastrawan yang sekaligus juga pejuang dan wartawan mi meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung, sehari kemudian. Ia meninggalkan dua orang istri dan tiga belas orang anak (lihat Mimbar Indonesia, No.24-25, 18 Juni 1959; Suluh Indonesia. No~211, l9Juni 1959; dan HarianAbadi, No.132, l9Juni 1959).
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Abdul Muis hanyalah lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia memang pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900--1902). Namun, karena sakit, ia terpaksa keluar dan sekolah kedokteran tersebut. Pada tahun 1917 ia sempat pergi ke Negeri Belanda untuk menambah pengetahuannya.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda sendiri (Mimbar Indonesia. No.24-25, 19 Juni 1959). Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) pada Departement van Onderwijs en Eredienst yang kebetulan membawahi Stovia. menjadi kierk. Padahal, pada waktu itu belum ada orang prihumi yang diangkat sebagai kierk. Konon, Abdul Muislah orang indonesia pertama yang dapat menjadi kierk.

Pengangkatan Abdul Muis menjadi kierk tersebut ternyata tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hal itu tentu saja membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya, pada tahun 1905 Ia keluar dan Departemen itu setelah dijalaninya selama Iebih kurang dua setengah tahun (1903-- 1905).

Sekeluarnya dan Department van Onderwzjs en Eredienst sebagai kierk hingga akhir hayatnya, Abdul Muis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik. maupun politik. Bidang pekerjaan yang pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik. Pada tahun 1905 itu juga ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik, di Bandung. Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama lebih kurang lima tahun, sebelum ia diperhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912. Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di Bandung, sebagal korektor, Hanya dalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadi hoofdcorrector(korektor kepala) karena kemampuan berbahasa Belandanya yang baik (Mimbar Indonesia. No.24-25, 119 Juni 1959).

Pada tahun 1913 Abdul Muis keluar dan De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuklah ia ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya untuk memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu pula, atas imsiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran 100 tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara (Mimbar Indonesia, No.24-25, 19 Juni 959).

Di zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis terus berjuang memimpin Serikat Islam. Pada tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan SI pergi ke Negeri Belanda untuk mem-propagandakan comite Indie Weerbaar.
Pada tahun 1918, sekembalinya dan Negeri Belanda, bdul Muis terpaksa harus pindah kerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun 1918 itu juga, Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).

Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak hanya berhenti sampal di situ. Bersama dengan tokoh-tokoh lainnya, Abdul Muis terus berjuang menentang penjajah, Belanda. Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia pun memimpin sebuah gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat (Biodata “Abdul Muis” yang tersimpan di Perpustakaan PDS H.B. Jassin). Protes tersebut berhasil. Dan, landrentestelsel pun urung diberlakukan. Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.

Oleh pemerintah Belanda, tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. OIeh karena itu, pada tahun 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dan daerah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926--1939) Ia tidak diperkenankan meninggalkan Pulau Jawa.

Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa, tidak berarti Abdul Muis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Sayang, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.

Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Oleh Serikat Islam ia pada tahun 1926 dicalonkan (dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).

Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Ia, oleh Jepang, diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’. Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Anehnya, pada zaman pascaprokiamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah Ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya. Dengan menggunakan inisial nama: A.M. ia menulis hanyak hal. salah satu di antananya adalah roman sejarahnya. Surapati. Konon. sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal feui/.leton ‘cerita bersambung’ pada Kaum Muda.

Sebagai sastrawan, Abdul Muis tergolong kurang produktif. Menurut catatan yang ada, ia hanya menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya terjemahan saja. Namun, dari karyanya yang hanya sedikit itu, nama Abdul Muis tercatat indah dalam sejarah sastra Indonesia. Konon, karya besarnya, Salah Asuhan, dianggap sebagal corak baru penulisan prosa pada saat itu. Jika pada saat itu sebagian besar penganang selalu menyajikan tema-tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhan justru menampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.
KARYA:

(1) Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan dan karya Mark Twain, Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
(2) Sebatang Kara (terjemahan dan karya Hector Malot, Perancis), cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka, 1949
(3) Hikavat Bachtiar (saduran cerita lama), Bandung:Kolff, 1950
(4) Hendak Berbalai, Bandung:KoIff, 1951
(5) Kita dan Demokrasi, Bandung:Kolff, 1951
(6) Robert Anak Surapati, Jakarta:Balai Pustaka, 1953
(7) Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
(8) Kurnia, Bandung:Masa Baru, 1958
(9) Pertemuan Djodoh (cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
(10) Surapati. Jakarta:Balai Pustaka, 1965
(11) Salah Asuhan, Jakarta:Balai Pustaka, 1967
(12) Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh (Terjemahan dan karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
(13) Don Kisot (terjemahaiun dan karya Cervantes, Spanyol)
(14) Pangeran Kornel (terjemahan dan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda)
(15) Daman Brandal Sekolah Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.

sumber http://pojok-sastraindonesia.blogspot.com/2010/01/abdul-muis-18831959.html

K.H. Agus Salim

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna “pembela kebenaran”); lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Latar belakang

Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Karir politik
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
* anggota Volksraad (1921-1924)
* anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
* Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
* pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

sumber http://gege258.wordpress.com/2012/05/10/k-h-agus-salim/#more-1987

KH. Ahmad Dahlan



(Pendiri Muhammadiyah dan Hizbul Wathan)

K.H. AHMAD DAHLAN
A. Latar Belakang Kehidupan
K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan tanggal 1 Agustus 1868 di Kauman Yogyakarta dan wafat tanggal 23 Februari 1923. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan ibunya Siti Aminah (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.
Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Permulaan pendidikan Muhammad Darwis adalah memperoleh pengajaran dan pendidikan membaca (mengaji) al-Qura’an dari ayahnya, K.H. Abu Bakar di rumah sendiri, dan pada usia 8 tahun di sudah lancar dan tamat membaca al-Qur’an. Seiring dengan perkembangn usia yang semakin bertambah, M. Darwis yang sudah tambah remaja mulai belajar agama Islam tingkat lanjut. Tidak sekedar membaca al-Qur’an, dia jug belajar fiqih dari K.H. M. Soleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain itu M. Darwis juga belajar ilmu agama Islam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan K.H. M. Nuh. Ia juga belajar ilmu hadis kepada K.H. Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qira’ati dan falak kepada K.H. Dahlan Semarang.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.

B. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
Pemikiran atau ide-ide K.H. Ahmad Dahlan tertuang dalam gerakan Muhammadiyah yang ia dirikan pada tanggal 18 Nopember 1912. Organisasi ini mempunyai karekter sebagai gerakan sosial keagamaan. Titik tekan perjuangannya mula-mula adalah pemurnian ajaran Islam dan bidang pendidikan. Muhammadiyah mempunyai pengaruh yang berakar dalam upaya pemberantasan bid’ah, khurafat dan tahayul. Ide pembaruannya menyetuh aqidah dan syariat, misalnya tentang uapcara kematian talqin, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, menziarahi kuburan yang dikeramatkan, memberikan makanan sesajen kepada pohon-pohon besar, jembatan, rumah angker dan sebagainya, yang secara terminologi agama tidak dikenal dalam Islam. Bahkan hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam, sebab dapat mendorong timbulnya kepercayaan syirik dan merusak aqidah Islam.
Inti gerakan pemurnian ajaran Islam seperti pendahulunya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab cukup bergema. K.H. Ahmad Dahlan dan pengikutnya teguh pendirian dalam upaya menegakkan ajaran Islam yang murni sesuai al-Qur’an dan Hadis, mengagungkan ijtihad intelektual bila sumber-sumber hukum yang lebih tinggi tidak bisa digunakan, termasuk juga menghilangkan taklid dalam praktik fiqih dan menegakkan amal ma’ruf nahi munkar.

C. Analisis Pemikiran
Corak pemikiran K.H. Ahmad Dahlan lebih banyak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan kehidupannya yang mendapat didikan keagamaan yang sangat intens. Disamping juga beliau merupakan keturunan dari kalangan keluarga terpandang, yakni anak seorang tokoh agama di lingkungan keraton. Ia juga mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh yang teguh memegang prinsip agama, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridah, dan Ibnu Taimiyah. Perjuangnnya dapat dilihat dari didirikannya organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan. Organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Pada Tahun 1918 Kh. Ahmad Dahlan mendirikan Hizbul Wathan sebagai sarana pendidikan diluar sekolah dan rumah.

Kesimpulan

K.H. Ahmad Dahlan merupakan tokoh nasional yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pengaruh penjajahan. Gelar sebagai pahlawan nasional pun diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada K.H. Ahmad Dahlan.
Pustaka :
http://geibreil.wordpress.com

Dokter Sutomo


Nama:Dokter Sutomo

Nama Asli:Subroto

Lahir:Desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888

Wafat:Surabaya, 30 Mei 1938

Pendidikan:STOVIA tahun 1911
Karir:Dokter di Semarang, Tuban, Lubuk Pakam dan Malang
Wartawan dan memimpin beberapa surat kabar
Organisasi:Pendiri dan Ketua Budi Utomo, 20 Mei 1908

Budi Utomo bergerak di bidang politik 1919

Pendiri Indonesische Studie Club (ISC) 1924

ISC berganti nama
menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) 1931

Pendiri dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) yang merupakan penggabungan Budi Utomo dengan PBI




Dokter Sutomo

Pendiri Budi Utomo

Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem pertama di Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.

Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak) sebagai komisaris.

Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.

Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain, ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran.

Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda pada tahun 1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.

Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des 1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.


crs, dari berbagai sumber
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) http://www.ilunifk83.com/t182-dr-sutomo

Nama Negara Maju dan Berkembang di Dunia

Mengetahui informasi terbaru yang ada didunia adalah hal yang sulit begitupun dengan mengetahui nama negara maju dan berkembang didunia tentunya salah satu hal yang juga sangat sulit, untuk itu disini saya akan coba berbagi dengan anda semua mengenai nama nama negara maju dan berkemabang didunia khususnya buat anda semua yang ingin mengetahui negara maju dan berkembang didunia. berikut ini adalah nama nama negara tersebut yang bisa anda ketahui.


Nama Negara Maju dan Berkembang di Dunia

Nama Negara Maju dan Berkembang di Dunia
========================================

Negara Maju


Austria
Belgia
Denmark
Finlandia
Bosnia
Perancis


Jerman
Yunani
Irlandia
Italia
Luxemburg


Belanda
Portugal
Spanyol
Swedia
Britania Raya


Negara non-UE:

Andorra
Islandia
Liechtenstein
Monako


Norwegia
San Marino
Swiss
Vatikan

Negara bukan Eropa:

Australia
Kanada
Korea Selatan
Hong Kong
Libya



Jepang
Selandia Baru
Singapura
Taiwan
Amerika Serikat


Negara Berkembang


Afghanistan
Albania
Aljazair
Angola
Antigua dan Barbuda
Argentina
Armenia
Azerbaijan
Bahama
Bahrain
Bangladesh
Barbados
Belarus
Belize
Benin
Bhutan
Bolivia
Botswana
Brazil
Bulgaria
Burkina Faso
Burma
Burundi
Kamerun
Tanjung Verde
Republik Afrika Tengah
Chad
Chili
Cina
Kolombia
Komoro
Republik Demokratik Kongo
Republik Kongo
Kosta Rika
Côte d'Ivoire
Kroasia
Djibouti
Dominika
Republik Dominika
Ekuador
Mesir
El Salvador
Guinea Khatulistiwa
Eritrea
Estonia
Ethiopia
Fiji
Gabon
Gambia
Georgia
Ghana
Grenada
Guatemala
Guinea
Guinea-Bissau
Guyana
Haiti
Honduras
Hongaria
Indonesia
India
Iran
Irak
Jamaika
Yordania
Kazakhstan
Kenya
Kiribati
Kuwait
Kyrgyzstan
Laos
Latvia
Lebanon
Lesotho
Liberia
Libya
Lituania
Makedonia
Madagaskar
Malawi
Malaysia
Maladewa
Mali
Kepulauan Marshall[17]
Mauritania
Mauritius
Meksiko
Federasi Mikronesia[17]
Moldova
Mongolia
Montenegro
Maroko
Mozambik
Namibia
Nauru
Nepal
Nikaragua
Niger
Nigeria
Oman
Pakistan
Palau[17]
Panama
Papua Nugini
Paraguay
Peru
Filipina
Polandia
Qatar
Rumania
Rusia
Rwanda
Saudi Arabia
Samoa
São Tomé dan Príncipe
Senegal
Serbia
Seychelles
Sierra Leone
Kepulauan Solomon
Afrika Selatan
Somalia
Sri Lanka
Saint Kitts dan Nevis
Saint Lucia
Saint Vincent dan Grenadines
Sudan
Suriname
Swaziland
Suriah
Tajikistan
Tanzania
Thailand
Timor-Leste
Togo
Tonga
Trinidad dan Tobago
Tunisia
Turki
Turkmenistan
Tuvalu
Uganda
Ukraina
Uni Emirat Arab
Uruguay
Uzbekistan
Vanuatu
Venezuela
Vietnam
Yemen
Zambia
Zimbabwe


Negara berkembang yang tidak terdaftar di IMF

Kuba
Korea Utara


Daftar ekonomi berkembang yang sudah menjadi ekonomi maju (Empat Macan Asia dan negara Euro Baru)

Hong Kong (sebelum 1997)
Singapura (sebelum 1997)
Korea Selatan (sebelum 1997)
Taiwan (sebelum 1997)
Siprus (sebelum 2001)
Libya (sebelum 2004)
Slovenia (sebelum 2007)
Malta (sebelum 2008)
Republik Ceko (sebelum 2009)
Slowakia (sebelum 2009)

sumber http://www.tuwumori.com/2012/08/nama-negara-maju-dan-berkembang-di-dunia.html

10 Negara Dengan Penduduk Terpadat Di Dunia

1. Monaco

Monako adalah Negara yang paling padat penduduknya dan merupakan negara merdeka terkecil ke dua di dunia,dengan jumlah penduduk hanya 32.410 dan luas 1,96 kilometer persegi (485 hektar).Monaco merupakan negara terkecil di dunia berbahasa prancis.

2. Singapura


Singapura merupakan negara kepulauan yang dihuni terletak di ujung selatan Semenanjung Melayu.Populer untuk tujuan pariwisata dan bisnis, Singapura juga merupakan salah satu negara terkaya di dunia karena sangat mengembangkan ekonomi. Singapura telah dinilai sebagai yang paling ramah-usaha perekonomian di dunia, dengan ribuan ekspatriat asing yang bekerja di perusahaan multi-nasional.IbuKota-negara juga mempekerjakan puluhan ribu asing Collared-pekerja dari seluruh dunia. Dengan total kepadatan penduduk lebih dari 6.300 orang per kilometer persegi.

3. Vatican City


Merupakan Daratan dalam kota Roma Italia dengan sekitar 44 hektar (108,7 hektar), Kota Vatikan adalah negara merdeka terkecil di dunia. Sebagai pusat agama Katolik, di kota-negara kecil ini hanya menampung sekitar 821 warga, namun karena kawasan yang kecil.

4. Maladewa


Maladewa merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekelompok atolls terletak di Samudra Hindia. Maladewa mempunyai dua puluh enam atolls meliputi wilayah menampilkan 1192 islets, kira-kira dua ratus yang dihuni oleh masyarakat lokal. Menurut sensus 2006, ada 298.842 penduduk yang tinggal di kawasan total hanya 298 kilometer persegi.

5. Bahrain


Bahrain merupakan batas wilayah negara pulau di Teluk Persia dan terkecil di bangsa Arab. Bahrain memiliki pertumbuhan ekonomi tercepat di wilayah Arab,menjadi kelebihan penduduk akibat imigrasi dan pekerja tamu dari seluruh dunia. Ada sekitar 987 orang per kilometer persegi di pulau kecil ini.

6. Bangladesh


Bangladesh adalah negara kecil yang terletak di Asia Selatan hampir dikelilingi oleh India. Bangladesh merupakan salah satu yang paling tinggi dan padat penduduk negara-negara di dunia. Dengan wilayah daratan 144.000 kilometer persegi (55.600 mil persegi).

7. Nauru


Nauru adalah sebuah negara kepulauan di Pasifik Selatan Micronesian hanya meliputi 21 kilometer persegi, membuatnya menjadi negara kepulauan terkecil di dunia,juga negara republik independen terkecil, dan satu-satunya negara republik di dunia tanpa modal resmi. Ada sekitar 13.048 penduduk yang tinggal di pulau kecil ini.

8. Taiwan


Taiwan adalah sebuah pulau di Asia Timur di lepas pantai daratan Cina. Setelah Perang Saudara China pada tahun 1949, Chiang Kai-shek dan sekitar 1,3 juta pengungsi melarikan diri ke daratan Cina membuat Republik Cina (ROC) di Taipei. Status politik Taiwan merupakan topik kontroversial, namun taiwan merupakan sebuah industri ekonomi. Merupakan salah satu wealthiest dan paling padat penduduknya di negara-negara Asia.

9. Barbados


Terletak di timur Laut Karibia, Barbados independen merupakan negara kepulauan di barat Samudra Atlantik.Merupakan negara tujuan wisata utama untuk rombongan wisatawan dari seluruh dunia. Barbados total luas areal lahan yang dimiliki sekitar 430 kilometer persegi, dan dengan salah satu standar hidup tertinggi dan buta aksara di seluruh dunia.Memiliki penduduk relatif tinggi sekitar 279.000.

10. Malta


Malta adalah negara kecil dan padat merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh pulau-pulau di Laut Mediterania. Setelah bergabung dengan Uni Eropa pada tahun 2004, negara ini telah dilihat peningkatan investasi dan kekuatan ekonomi. Populasi penduduk Malta,tahun 2005 diperkirakan 404.039 di Malta dan kepadatan penduduk dari 1.282 per kilometer, jauh tertinggi di Uni Eropa dan salah satu yang tertinggi di dunia.

Mungkin akan banyak Yang protes,ko bukan china yang terpadat??sebelum diprotes saya kasih tau dulu,cina memang merupakan negara dengan penduduk terbanyak di dunia dengan lebih dari 1,5 milyar,tetapi cina didukung dengan wilayahnya yang luas,jadi tidak masuk dalam daftar terpadat di dunia.
 
sumber http://terselubung.blogspot.com/2012/07/10-negara-dengan-penduduk-terpadat-di.html

5 Negara Dengan Populasi Penduduk Terbanyak Di Dunia

Cina masih menjadi negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia,
diikuti oleh India dan Amerika Serikat di urutan kedua dan ketiga.
Pecahnya Uni Sovyet membuat Indonesia menempati posisi keempat,
sementara diperingkat kelima diduduki oleh Brazil.Ini dia daftar beserta jumlah penduduk 5 besar negara dengan populasi
penduduk terbanyak di dunia:
1. China, 1.332.451.196 jiwa
2. India, 1.153.207.176 jiwa
3. Amerika Serikat, 304.596.396 jiwa
4. Indonesia, 238.315.176 jiwa
5. Brazil, 197.036.192 jiwa.
Data 14 oktober 2008
source: sitaro.wordpress.com

Kerajaan Islam di Indinesia

Ada banyak kerajaan bercorak Islam yang terdapat mulai dari Sumatra sampai Maluku.
a. Kerajaan Perlak
Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah kerajaan dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan Samudrar Pasai, terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura sekarang).
Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.
Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
b. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur Aceh).
Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di Samudra Pasai. Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti berikut.
(1) Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan Islam dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi negara maritim yang kuat di Selat Malaka.
(2) Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak 1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai.
(3) Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.
Catatan lain mengenai kerajaan ini dapat diketahui dari tulisan Ibnu Battuta, seorang pengelana dari Maroko. Menurut Battuta, pada tahun 1345, Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak pedagang dari Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini mengingat letak Samudera Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas yang disebur deureuham (dirham).
Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah. Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi panglima di Demak kemudian menjadi penguasa di Banten.
c. Kerajaan Aceh
Kerajaan Islam berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528), menjadi penting karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya Kerajaan Malaka.
Para pedagang kemudian lebih sering datang ke Aceh.
Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang). Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.
Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan, dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.
Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Aceh mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636- 1641). Dia kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri (1641- 1675). Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian antara golongan teuku dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan sunnah sal jama’ah. Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
Dalam bidang sosial, letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional di Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam.
Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun ekonomi. Dalam kehidupan bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran agama Islam. Pada sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari Singkil.
Keempat ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai ke Jawa.
Dalam kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa kejayaannya. Dengan menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh menjadi kerajaan yang kaya akan sumber daya alam, seperti beras, emas, perak dan timah serta rempah-rempah.
d. Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang dengan Peninggalannya
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi kota besar dan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Walisongo, Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.
Sebagai kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al Fatah. Raden Patah sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup berpengaruh di Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan. Karena memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingan Demak turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal.
Raden Patah kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521). Walau ia tidak memerintah lama, tetapi namanya cukup terkenal sebagai panglima perang yang berani.
Ia berusaha membendung pengaruh Portugis jangan sampai meluas ke Jawa. Karena mati muda, Adipati Unus kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan Trenggono (1521-1546). Di bawah pemerintahannya, Demak mengalami masa kejayaan. Trenggono berhasil membawa Demak memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1522, pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah menyerang Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Baru pada tahun 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut. Dalam penyerangan ke Pasuruan pada tahun 1546, Sultan Trenggono gugur.
Sepeninggal Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya menjadi raja dan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggono. Sunan Prawoto kemudian dikalahkan oleh Arya Penangsang, anak Pengeran Sekar Sedolepen.
Namun, Arya Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang menjadi Adipati di Pajang. Joko Tingkir (1549-1587) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.
Kerajaannya kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang.
Sultan Hadiwijaya kemudian membalas jasa para pembantunya yang telah berjasa dalam pertempuran melawan Arya Penangsang. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan menerima hadiah berupa tanah di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki Penjawi dihadiahi wilayah di daerah Pati, dan keduanya sekaligus diangkat sebagai bupati di daerahnya masing-masing. Bupati Surabaya yang banyak berjasa menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Panarukan.
Ketika Sultan Hadiwijaya meninggal, beliau digantikan oleh putranya Sultan Benowo. Pada masa pemerintahannya, Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto melakukan pemberontakan. Namun, pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Pangeran Benowo dengan bantuan Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya. Tahta Kerajaan Pajang kemudian diserahkan Pangeran Benowo kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pusat Kerajaan Pajang ke Mataram.
Di bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Demak.
Dalam bidang perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung) yang penting. Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik. Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.
e. Kerajaan Mataram dan Peninggalannya
Sutawijaya yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan, di Mataram. Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pemerintahan Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus karena diwarnai oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di Kotagede (sebelah tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang untuk menundukkan para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, seperti Bupati Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun, semua daerah itu dapat ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya ialah Surabaya dengan bantuan Sunan Giri.
Setelah Senopati wafat, putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan bergelar Sultan Anyakrawati. Dia berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan Mojoagung. Ia wafat dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga kemudian dikenal dengan Pangeran Sedo Krapyak.
Mas Jolang kemudian digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645). Raja Mataram yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham ini kemudian lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai masa keemasan. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered. Wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sultan Agung bercita-cita mempersatukan Jawa. Karena merasa sebagai penerus Kerajaan Demak, Sultan Agung menganggap Banten adalah bagian dari Kerajaan Mataram. Namun, Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Sultan Agung kemudian berniat untuk merebut Banten.
Namun, niatnya itu terhambat karena ada VOC yang menguasai Sunda Kelapa. VOC juga tidak menyukai Mataram. Akibatnya, Sultan Agung harus berhadapan dulu dengan VOC. Sultan Agung dua kali berusaha menyerang VOC: tahun 1628 dan 1629.
Penyerangan tersebut tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di Jawa.
Sultan Agung membagi sistem pemerintahan Kerajaan Mataram seperti berikut.
(1) Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).
(2) Negara Agung, daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
(3) Mancanegara, daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati.
(4) Pesisir, daerah pesisir. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para Bupati atau syahbandar.
Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I (1645-1677). Amangkurat I menjalin hubungan dengan Belanda. Pada masa pemerintahannya. Mataram diserang oleh Trunojaya dari Madura, tetapi dapat digagalkan karena dibantu Belanda.
Amangkurat I kemudian digantikan oleh Amangkurat II (1677-1703). Pada masa pemerintahannya, wilayah Kerajaan Mataram makin menyempit karena diambil oleh Belanda.
Setelah Amangkurat II, raja-raja yang memerintah Mataram sudah tidak lagi berkuasa penuh karena pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada tahun 1755, Mataram terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti:
Ngayogyakarta Hadiningrat (Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat di Yogyakarta dengan raja Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I dan Kesuhunan Surakarta yang berpusat di Surakarta dengan raja Susuhunan Pakubuwono III. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan Mataram.
Kehidupan sosial ekonomi Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram maju hampir dalam segala bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan Majapahit, muncul kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa, Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan yang terkenal adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.
f. Kerajaan Banten
Kerajaan yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah. Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun 1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin diangkat menjadi Raja Banten.
Setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan diri dari Demak. Berdirilah Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin (1522- 1570). Pada masa pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung. Artinya, Bantenlah yang menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para pedagang dari Cina, Persia, Gujarat, Turki banyak yang mendatangi bandar-bandar di Banten. Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya sangat strategis, Banten juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) sehingga para pedagang muslim berpindah jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor lainnya, Banten merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang laku di pasaran dunia.
Sultan Hasanudin kemudian digantikan putranya, Pangeran Yusuf (1570-1580).
Pada masa pemerintahannya, Banten berhasil merebut Pajajaran dan Pakuan.
Pangeran Yusuf kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad. Raja yang bergelar Kanjeng Ratu Banten ini baru berusia sembilan tahun ketika diangkat menjadi raja. Oleh sebab itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, Maulana Muhammad dibantu oleh Mangkubumi. Dalam tahun 1595, dia memimpin ekspedisi menyerang Palembang. Dalam pertempuran itu, Maulana Muhammad gugur.
Maulana Muhammad kemudian digantikan oleh putranya Abu’lmufakhir yang baru berusia lima bulan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Abu’lmufakhir dibantu oleh Jayanegara. Abu’lmufakhir kemudian digantikan oleh Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah. Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah kemudian digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692).
Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan Banten sebagai sebuah kerajaan yang maju dengan pesat. Untuk membantunya, Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1671 mengangkat purtanya, Sultan Abdulkahar, sebagi raja pembantu. Namun, sultan yang bergelar Sultan Haji berhubungan dengan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak menyukai hal itu berusaha mengambil alih kontrol pemerintahan, tetapi tidak berhasil karena Sultan Haji didukung Belanda. Akhirnya, pecahlah perang saudara. Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan. Dengan demikian, lambat laun Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang berada di bawah kekuasaan Belanda.
g. Kerajaan Cirebon
Kerajaan yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah didirikan oleh salah seorang anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah.
Syarif Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak mengirimkan pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya. Bahkan pada tahun 1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah untuk menjadi Bupati di Jayakarta.
Syarif Hidayatullah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Pasarean. Inilah raja yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya.
Pada tahun 1679, Cirebon terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Dengan politik de vide at impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu sudah berpengaruh di Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi Kasultanan Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3, yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil dikuasai VOC pada akhir abad ke-17.
h. Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan sebenarnya terdiri atas dua kerjaan:
Gowa dan Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat pemerintahannya terdapat di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut sebagai Kerajaan Makassar.
Karena posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar.
Raja yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669).
Hasanuddin berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa dan sebagian Flores di selatan.
Karena merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur, Hasanuddin bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda sehingga sering terjadi pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda. Belanda kemudian menyerang Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda berhasil memaksa Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat monopoli dagang di Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar, Makassar harus melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui sebagai Raja Bone.
Sultan Hasanuddin kemudian digantikan oleh Mapasomba. Namun, Mapasomba tidak berkuasa lama karena Makassar kemudian dikuasai Belanda, bahkan seluruh Sulawesi Selatan.
Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam.
Kehidupan perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan dan pelayaran. Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah pertanian yang subur. Daerah-daerah taklukkannya di tenggara seperti Selayar dan Buton serta di selatan seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores juga merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Semua itu membuat Makassar mampu memenuhi semua kebutuhannya bahkan mampu mengekspor.
Karena memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur perdagangan Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e, sebuah tata hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis oleh Amanna Gappa.
i. Kerajaan Ternate dan Tidore
Ternate merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13 dengan raja Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan Mansur sebagai raja.
Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang karena Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat hasil rempah-rempah terutama cengkih.
Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, kedua kerajaan berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut terjadi persaingan. Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan Ternate sebagai sekutunya dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang masuk Maluku pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya.
Dengan berkuasanya kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi pertikaian terus-menerus. Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama ingin memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak, ternyata bangsa Eropa itu bukan hanya berdagang tetapi juga berusaha menyebarkan ajaran agama mereka. Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate, Sultan Khairun (1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao Paulo, Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis.
Setelah sadar bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik kembali. Sultan Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583). Pada masa pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu tidak terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil memperluas daerah kekuasaan Ternate sampai ke Filipina.
Sementara itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil memperluas pengaruh Tidore sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai di selatan dan Misol di Irian.
Dengan masuknya Spanyol dan Portugis ke Maluku, kehidupan beragama dan bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada Katolik, Protestan, dan Islam. Pengaruh Islam sangat terasa di Ternate dan Tidore. Pengaruh Protestan sangat terasa di Maluku bagian tengah dan pengaruh Katolik sangat terasa di sekitar Maluku bagian selatan.
Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan sampai ke Eropa. Itulah komoditi yang menarik orang-orang Eropa dan Asia datang ke Nusantara. Para pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya dengan rempah-rempah. Proses perdagangan ini pada awalnya menguntungkan masyarakat setempat. Namun, dengan berlakunya politik monopoli perdagangan, terjadi kemunduran di berbagai bidang, termasuk kesejahteraan masyarakat.

sumber http://dahlanforum.wordpress.com/2009/05/02/kerajaan-kerajaan-bercorak-islam-di-indonesia/